Cari Blog Ini

Sabtu, 30 November 2013

Penguatan Organisasi Bisa Atasi Persoalan Guru



JAKARTA – Penguatan organisasi guru dinilai dapat menjadi solusi kekacauan pengelolaan guru di negeri ini. Organisasi profesi guru yang kuat akan mampu menegakkan kode etik guru, membina dan mengembangkan profesi guru, serta memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan.
 
Demikian dikatakan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti kepada SH, Kamis (28/11) pagi.
Penguatan organisasi guru penting karena berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD Nomor 4 Tahun 2005-red), organisasi guru juga berfungsi memberikan bantuan hukum kepada guru, memberikan perlindungan profesi guru, dan memajukan pendidikan nasional,” kata Retno.
Berdasarkan pasal tersebut, ia melanjutkan, bila ada guru ingin menuntut transparansi pemerintah, mereka akan merasa aman karena organisasi guru memberikan perlindungan. Begitu juga untuk meningkatkan kapasitas anggotanya.
“Sayangnya, pemerintah ngotot akan mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2008, khususnya Pasal 44 Ayat 3 yang berpotensi memberangus organisasi guru yang baru tumbuh,” Retno mengeluh.
Melalui pengesahan PP Nomor 74/2008 tentang Guru, pemerintah terkesan berupaya menunggalkan organisasi guru. Menurut Retno, upaya seperti ini tak ubahnya dengan masa Orde Baru.
Pemerintah hanya mengakui satu organisasi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). “Pemerintah sedang memperlemah organisasi guru. Ini akan berdampak signifikan pada kualitas pendidikan kita,” Retno mengungkapkan.
Menurut Retno, sebagian besar guru saat ini menganggap PGRI tidak mampu memperjuangkan kepentingan guru dan pendidikan. Ia melanjutkan, PGRI dianggap hanya rajin memungut iuran anggota.
“Ketika para guru yang patah arang dengan PGRI pindah ke organisasi guru lain mestinya didukung semua pihak, karena akan ada persaingan sehat untuk berjuang di organisasi guru sesuai amanat UUGD, khususnya Pasal 42,” kata Retno.
Akhir pekan lalu, puluhan organisasi guru mengaku resah atas keteguhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merevisi Pasal 44 Ayat 3 PP 74/2008, yang menurut Komisi Nasional (Komnas) HAM berpotensi melanggar hak berserikat bagi guru.
Dalam aksi di Komnas HAM akhir pekan lalu, FSGI, FGII, PGSI, dan IGI mengatakan menduga Kemendikbud di bawah tekanan pihak tertentu yang sangat diuntungkan, jika Pasal 44 Ayat 3 yang mengatur syarat jumlah anggota dan pengurus organisasi guru jadi direvisi.
“Padahal, kebebasan organisasi untuk guru diatur dalam UUGD Pasal 14 yang menyatakan guru berhak memiliki kebebasan berserikat dalam organisasi profesi guru,” ujar Retno dalam aksi itu.
Tidak Tunggal
UU tersebut juga mengamanatkan guru wajib berorganisasi dan bebas memilih organisasi guru. “Pasal ini sekaligus menunjukkan organisasi guru tidak tunggal,” Retno menambahkan.
Sekjen Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Suparman dalam keterangan persnya mengatakan, aksi tersebut meminta pemerintah menegakkan amanat UUGD Pasal 1 yang mensyaratkan organisasi profesi guru dibentuk dan diurus guru.
“Kenyataannya organisasi guru seperti PGRI justru tidak diurus oleh guru. Hal ini jelas melanggar undang-undang,” katanya.
Ketua Umum Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Heru Purnomo dalam kesempatan yang sama mengatakan, bila didorong berkembang secara adil, organisasi guru akan kuat dan independen sehingga dapat mendorong para anggota menjadi guru yang pembelajar, profesional, dan kritis.
Guru dan organisasi guru secara aktif akan dapat berpartisipasi dalam mendorong dan memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan, terutama kebijakan pendidikan yang berorientasi peningkatan mutu dan pendidikan yang berkeadilan,” kata Heru dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu.
Senada dengan para guru, Anggota Komisi X, Rohmani mengatakan, seperti halnya organisasi profesi dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mampu mendongkrak profesionalisme dokter-dokter, organisasi guru dapat meningkatkan profesionalisme guru.
“Jadi, resep mengatasi persoalan guru bukan resentralisasi, melainkan penguatan organisasi profesi guru,” tuturnya kepada SH, Kamis pagi.
Sumber : Sinar Harapan  
http://www.shnews.co/detile-28703-penguatan-organisasi-bisa-atasi-persoalan-guru.html

Jumat, 31 Agustus 2012

15 NOPEMBER = HARI KEBANGKITAN GURU & USTADZ SE-KAB. GARUT


Saatnya Yang Mulia Para GURU Bangkit, Berjamaah Berjuang !!!


 Bahwa untuk mencapai tujuan bersama dalam mewujudkan eksistensi guru yang bermartabat dan profesional berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka diperlukan suatu organisasi profesi guru yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru berdasarkan semangat pembaharuan (reformasi) dengan mensyukuri amanah Allah Yang Maha Kuasa, memperjuangkan hak dan kewajiban guru serta menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai luhur pribadi bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kami dirikan sebuah organisasi profesi guru yang diberi nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT, sebagai wadah berhimpunnya para guru untuk bermusyawarah dan berjuang dalam menjunjung tinggi harkat martabat, kode etik, profesionalitas serta menegakkan hak dan kewajiban guru untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Organisasi Guru ini didirikan di Garut pada tanggal lima belas, bulan Nopember tahun 2006 dengan nama SERIKAT GURU INDONESIA KABUPATEN GARUT disingkat SEGI GARUT.


15 Nopember = HARI KEBANGKITAN GURU-USTADZ se-KABUPATEN GARUT


Kamis, 17 Mei 2012

Kebijakan Pendidikan yang Mengindonesiakan


by Inspirasi Indonesia on Tuesday, May 8, 2012 at 7:44pm ·


Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Ed
PENGAMAT PENDIDIKAN

Bahwa kepentingan politik melahirkan berbagai kebijakan atau suatu kebijakan merupakan indikasi dari sebuah kepentingan nasional tidak dimasalahkan dalam tulisan ini. Tetapi masalah yang disoroti sekarang adalah kepentingan politik praktis yang diungkapkan sebagai kepentingan pendidikan nasional. Karena itu, sering membingungkan karena tidak jarang dirumuskan sebagai kebijakan pendidikan.

Ambillah pendidikan berbangsa untuk kepentingan pendidikan nasional. Kepentingan itu jelas harus melahirkan kebijakan yang sesuai, yakni yang jauh lebih luas dari sekadar kebijakan sekolah, apalagi kebijakan sekolah yang terbatas dibiayai oleh negara saja. Sejak kemerdekaan sampai hari ini, yang baru saja berarti menjalani kemerdekaan mengatur diri sendiri selama 65 tahun. Sudah 35 menteri pendidikan yang dipercayakan melahirkan kebijakan pendidikan ke masa depan. Malangnya, makin banyak di antara menteri itu yang hanya bisa melahirkan kebijakan sekolah daripada melahirkan kebijakan pendidikan.

Kebijakan pendidikan diharapkan semakin jelas kaitannya dan semakin bersumber dari dan termasuk segala hal yang diamanatkan oleh konstitusi. Kebijakan pendidikan semacam itu jelas lahir dari kepentingan sebuah bangsa dan bukan hanya kepentingan politik praktis atau perorangan. Kebijakan pendidikan dirumuskan jauh ke depan dan terintegrasi dengan pembangunan secara menyeluruh.

Kondisi semacam ini memang tidak selalu terdapat di Tanah Air. Bukan hanya disebabkan oleh tiga orde yang telah dikenal sekaligus saling menghancurkan. Orde Baru bertekad menghancurkan Orde Lama, tetapi di dalam setiap orde itu tidak terdapat kesinambungan kebijakan pendidikan. Di dalam rangka Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, kita sulit sekali mengenal kesinambungan kebijakan para menteri. Ini berakibat tidak adanya garis lurus yang dapat dipedomani oleh para pelaku pendidikan di lapangan.

Kita umumnya makin tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan sebagai yang telah diingatkan berbeda dalam konsep dasarnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Yang paling menyedihkan sekarang ialah apabila seorang menteri pendidikan menurunkan dirinya hanya sebagai menteri persekolahan dan menganggap bahwa kebijakan sekolah yang dihasilkannya sekaligus adalah kebijakan pendidikan.

Yang dibutuhkan secara nasional adalah yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan sinkron dengan pendidikan pembangunan secara lebih luas. Tetapi justru yang terjadi banyak di antara 35 menteri itu yang lebih berfungsi sebagai menteri persekolahan walaupun tetap menyebutkan diri sebagai menteri pendidikan nasional.

Di kalangan mereka yang melahirkan kebijakan pendidikan pun terdapat perbedaan dan pertentangan yang cukup besar.  Itulah di antara sebab mengapa Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran pertama, hanya 3 bulan) belum sempat mengembangkan kebijakan mengenai pendidikan kemerdekaan dan sebaliknya itulah pula mengapa seorang Dr Prijono (menteri ke 15,8 tahun lamanya) sempat mengganti peran Pancasila dengan Pancacinta. Tetapi, pada saat yang sama, itulah sebab mengapa menteri-menteri yang datang kemudian banyak mencari jalan sendiri-sendiri dan melahirkan kebijakan yang akhirnya tidak sambung-menyambung. Akhirnya itulah pula sebabnya mengapa masyarakat pada umumnya memiliki kesan “ganti menteri, ganti kebijakan”.

Memang, beberapa pemikiran menteri tertentu dan terdahulu, walaupun hanya berdasarkan kepentingan teknis, berguna untuk ditindaklanjuti oleh menteri sesudahnya.  Tetapi kesetiaan para menteri sudah tidak bisa diharapkan dalam kekacauan politik yang bersumber dari berbagai orde yang saling menghancurkan. Dalam satu orde pun bukanlah jaminan lahirnya kepentingan yang tunggal. Para pelaku di lapangan tidak mungkin lagi menemukan satu kebijakan jangka panjang yang layak untuk dipedomani. Bukankah sudah tertanam di hati para pelaku itu bahwa berganti menteri berarti berganti kepentingan, berganti kepentingan berarti berganti kebijakan? Kita semua tetap gamang bila harus menyatakan bahwa kita memerlukan insan cerdas dan kompetitif (RENSTRA Pendidikan Nasional, 2004-2009), karena tidak pernah jelas di kalangan siapa pun “cerdas” bagaimana dan “kompetitif” terhadap siapa, dalam bentuk apa, dan terhadap siapa.

Sebaliknya yang menonjol ialah kebijakan yang makin terikat pada keputusan praktis sehari-hari yang ditentukan oleh berbagai pejabat masa lalu. Sesungguhnya yang mereka maksud masa depan telahbanyak dirusak oleh generasi tua sendiri dan disampaikan secara politis kepada generasi muda dalam bentuknya yang abstrak. Generasi tua sering melupakan bahwa generasi mudalah yang paling berhak terhadap masa depan. Karena itu, banyak peraturan serta UU buatan masa lalu yang sekarang menjadi semakin tidak relevan, termasuk misalnya saja UU tentang Badan Hukum Pendidikan, yang banyak dibicarakan di masyarakat dewasa ini.

Kebijakan pendidikan yang benar-benar kita butuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling sedikit mengutarakan tiga hal berikut ini. Pertama, pendidikan sebagai proses yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh berarti kebijakan berbangsa setiap warga negara.
Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian, pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga negara.

Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagamanan.

Hari ini kita wajib menilai apakah berbagai peraturan yang telah ada, termasuk yang dihasilkan oleh Orde Reformasi sekalipun, telah benar-benar berdasarkan kepentingan dan kebijakan pendidikan secara nasional. Kesimpulan penulis sendiri ialah tidak demikian: bukan peraturan-peraturan dan ketentuan formal yang dibutuhkan dewasa ini. Yang diperlukan adalah visi dan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kepentingan yang dihormati dan dijadikan dasar untuk membangun bangsa. Inilah kebijakan pendidikan yang mengindonesiakan.

Selasa, 15 Mei 2012

RSBI Harus Dibubarkan


JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelenggaraan sekolah berstatus rintisan bertaraf internasional (RSBI/SBI), secara konsep bertentangan dengan falsafah pendidikan nasional. Karena itu RSBI harus dibubarkan, agar kekeliruan pendidikan tidak bertambah parah.
Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat. - Daoed Joesoef

Hal ini dikatakan dua saksi ahli pemohon mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, serta ahli filsafat dan manajemen pendidikan, HAR Tilaar, dalam sidang uji materi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI/SBI, di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (15/5/2012).
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon dan pemerintah, dipimpin Ketua MK Mahfud MD.

Daoed mengatakan, dia sangat menentang pengembangan sekolah RSBI/SBI. "Saya menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang merdeka dan berdaulat," kata Daoed.

Menurut Daoed, dia menentang cara dan standar yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan sistem RSBI/SBI, yang menciptakan pengkastaan dan melegalkan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.
"Saya bukan menolak peningkatan mutu pendidikan ke internasional atau pembelajaran bahasa asing. Tetapi jika yang dilaksanakan dengan RSBI/SBI, pemerintah terlalu simplistis," kata Daoed.

Dalam pandangannya, Daoed menentang keras sikap pemerintah yang sengaja menciptakan kekastaan dalam masyarakat. Pemerintah mengembangkan kelompok anak yang ceradas sedemikian rupa, namun ada juga kelompok anak yang nantinya bakal sekadar jadi "penonton" dalam pembangunan.

Sementara HAR Tilaar mengatakan, pendidikan RSBI/SBI Indonesia yang mengacu pada negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD, menunjukkan Indonesia tidak memiliki kemerdekaan budaya.
"Indonesia justru harus bisa menemukan kekuatan sendiri, dengan berlandaskan pada kebudayaannya, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan," kata Tilaar.

Menurut Tilaar, pendidikan RSBi/SBI hanya menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual, bukan manusia yang berkarakter dan berbudaya.   http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/15/16482067/RSBI.Harus.Dibubarkan

Sabtu, 12 Mei 2012

Mengawasi Pembiayaan Pendidikan



http://www.tempo.co/read/kolom/2012/05/08/579/Mengawasi-Pembiayaan-Pendidikan-
 
Selasa, 08 Mei 2012 | 07:54 WIB
TEMPO.CO, Di antara kementerian dan lembaga negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  menjadi kementerian dengan proporsi anggaran paling gemuk dibanding yang lain. Dari Rp 266,9 triliun pada 2011, anggaran menjadi Rp 286,6 triliun pada 2012. Baik pada 2011 maupun 2012, anggaran pendidikan mencapai sekitar 20 persen APBN; mengikuti amanat undang-undang.

Harus diakui, skema anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah membangun sektor ini. Pada 2011, pemerintah telah melakukan rehab 18 ribu SD senilai Rp 2,29 triliun, 3.500 SMP senilai Rp 518,4 miliar, rehab 2.203 ruang kelas MI senilai Rp 160,8 miliar, dan MTs sebesar Rp 236,3 miliar. Pemerintah menyatakan masih ada sekitar 10 persen sekolah tidak layak yang akan terus diperbaiki. Di bidang fisik, dibangun Rumah Sakit Pendidikan di perguruan tinggi negeri sejak 2008 sampai sekarang dan menghabiskan Rp 2,5 triliun!

Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional. Bahkan Menteri M. Nuh pun mengakui lembaga pendidikan satu dan lainnya berbeda-beda serta timpang, terutama di lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan agar masyarakat mengetahui secara transparan. Kebijakan pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun masih saja terjadi.

Pembiayaan pendidikan belum mampu meng-upgrade posisi indeks pembangunan manusia Indonesia, bahkan di level ASEAN sekalipun. Laporan BPS menyatakan Indonesia masih ada di peringkat 108 pada 2009 dan 2010, dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar (132), dan masih kalah dari Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).

Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP, 32 persen untuk SLTA, dan 12 persen untuk perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada 2011, naik tajam pada 2012 menjadi Rp 27,67 triliun.

Meskipun anggaran sudah berporsi besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19 April) dengan Komisi X yang ditujukan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa besarnya anggaran ini belum mampu mengubah potensi partisipasi peserta didik? Apakah pembiayaan ini telah berjalan tepat sasaran, efektif, dan efisien? Lalu, bagaimana mengantisipasi “tikus-tikus” proyek yang acap berkeliaran, seperti dugaan “permainan” AS dan kawan-kawan di tubuh Kementerian Pendidikan?

Peran pemda

Sejak otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab pemda. Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas; diganti dengan Dinas Pendidikan di kabupaten/kota di bawah kendali pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah pemerintah provinsi. Dengan konfigurasi demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam prakteknya, ternyata hal ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara pusat dan daerah.

Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgetary (dibelanjakan sekolah) dan non-budgetary (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu daerah dan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai dengan kebutuhan prioritas per daerah. Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk pada besaran tahun-tahun sebelumnya, karena ketidakberanian mengubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur DAK serta DAU juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran “raksasa” ini.

Belum lagi, kesenjangan pendidikan antarkabupaten di Indonesia masih belum cukup memberikan informasi tentang kesenjangan yang terjadi di dalam provinsi. Padahal kesenjangan itu benar-benar terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh, sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif. Hal ini tidak hanya penting secara kuantitatif, tetapi juga penting bagi pemerintah sebagai bahan mengambil langkah-langkah terpadu untuk mengurangi semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan.

Mismanajemen biaya

Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM, dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan, dan peralatan pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan untuk kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di kementerian dan lembaga negara lainnya, pemerintah belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk mengefisienkan biaya operasi, sehingga target-target pencapaian pendidikan dapat terpenuhi.

Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat “dikalahkan” oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas (atau dianggap masih kurang, dan akan selalu merasa kurang), maka otomatis akan sulit menargetkan terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.

Belum lagi pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk “para pemain” lama maupun baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit beranjak membangkitkan potensi bangsa kita. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehensif perlu dilakukan kontinu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun bisa korupsi dan “mau” menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai.


*) Abdullah Yazid, alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang, peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)

Kamis, 10 Mei 2012

Guru di Garut Pertanyakan Belum Cairnya TPG

INILAH.COM, Garut 
Oleh: Nul Zainulmukhtar
Jabar - Rabu, 9 Mei 2012 | 23:22 WIB 
- Guru-guru penerima sertifikasi di berbagai daerah di Kabupaten Garut mengeluhkan belum cairnya tunjangan penghasilan guru (TPG) dari pemerintah pusat untuk triwulan pertama 2012. Seharusnya dana TPG tersebut sudah diterima mereka selambatnya April lalu.

Mereka pun mempertanyakan diharuskannya para guru membuka rekening baru di Bank BJB untuk penerimaan uang TPG sekalipun sudah memiliki rekening di bank tersebut sebelumnya. Isu dugaan adanya kesengajaan pengendapan dana TPG di Bank BJB pun muncul dan disinyalir ada aliran fee atas kerja sama pembukaan rekening baru tersebut.

Ketua Serikat Guru Indonesia Imam Tamamu Taufiq mengatakan, sepengetahuannya, transfer TPG untuk Kabupaten Garut dari pemerintah pusat dengan total nilai Rp66,7 miliar sudah dikirimkan Kementrian Keuangan RI ke Pemkab Garut pada Maret 2012 lalu. Namun hingga kini, TPG tersebut masih belum dicairkan.

"Padahal sesuai Permenkeu Nomor 35/PMK.07/2012, TPG untuk Garut untuk triwulan pertama senilai total Rp66,7 miliar itu sudah harus dicairkan paling lambat April 2012. Tapi sampai saat ini masih belum diterima guru-guru di Garut. Ini artinya, Pemkab melakukan pelanggaran terhadap Permenkeu 35/2012 tersebut," tutur Imam yang juga guru di salah satu SMA di Kabupaten Garut itu, Rabu (9/5/2012).

Imam jug mempertanyakan diharuskannya para guru SMA/SMK di Kabupaten Garut membuka rekening di Bank BJB untuk penerimaan TPG tersebut, termasuk yang sudah memiliki rekening bank bersangkutan.

"Padahal, menurut MoU (Memorandum of Understanding/kesepahaman) Bank BJB dengan Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), pembukaan rekening di Bank BJB hanya untuk guru-guru SD, SMP, dan pengawas. Saya tak tahu Pemkab Garut ini bagaimana? Apa TPG itu diendapkan atau bagaimana sebenarnya?," tanya Imam.[ang]    *
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1859552/guru-di-garut-pertanyakan-belum-cairnya-tpg